Pertarungan Isu Lingkungan VERSUS Keberlanjutan Ekonomi

Bagi mayoritas negara-negara berkembang yang baru merdeka dan tergolong berpenghasilan rendah,  tentu isu “pembangunan ekonomi” menjadi agenda penting dan menarik dalam setiap sidang umum PBB.  Maka ketika pada 1961 Presiden AS John F. Kennedy  memprakarsai perlunya PBB menetapkan dekade 1960-an sebagai “dasawarsa pembangunan”, usulan tsb langsung mendapat sambutan hangat dari seluruh dunia. Negara-negara berkembang didorong dan bersemangat melakukan akselerasi pembangunan ekonomi, berlomba menaikkan pendapatan nasionalnya agar mencapai target pertumbuhan sekurangnya 5 persen per tahun pada 1970.  Untuk itu, PBB mendorong mengalirnya dana-dana bantuan internasional dan modal swasta dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dalam skala besar-besaran, dalam tempo singkat. Pada waktu itulah lahir program  “bantuan pembangunan (development aid)” yang disebut “ODA (Overseas Development Assistance)” dari negara-negara industri maju kepada negara-negara berkembang.  “Bantuan” itu untuk meningkatkan pendapatan nasional negara berkembang agar bisa menjadi mitra dagang dan pasar yang menarik bagi investasi modal negara-negara kaya.  Era “Dasawarsa Pembangunan Pertama (1960-1970)” dianggap sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi Dunia Ketiga.

Air, udara, tanah, hutan, sungai, tumbuhan, laut, semuanya adalah kekayaan atau faktor alam yang dapat diakses oleh semua warga masyarakat. Kekayaan yang sumbernya dari alam itu milik bersama dan untuk kepentingan bersama. Ia disebut “the Commons”, hak milik bersama, karena punya fungsi publik. Yakni untuk hajat hidup orang banyak. Jadi sumber daya alam itu bukan milik pribadi, dan tak bisa dikuasai, apalagi hanya dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan individu, perusahaan atau kelompok tertentu saja. Maka itu bila berada didalam atau merupakan bagian dari suatu negara, sumber daya alam perlu dikuasai dan dikelola oleh negara untuk dan atas nama publik. Atau karunia alam milik bersama tersebut bisa juga menjadi praktik sosial kolektif mengatur sumber daya alam secara arif dan lestari bukan oleh negara atau swasta, tapi oleh komunitas penduduk asli atau masyarakat adat setempat. 

Kekayaan berupa hutan, mata-air, udara bersih, dan lain-lain sumber daya alami itu merupakan unsur ekologi dari lingkungan alam yang selalu bisa dan mampu memperbaharui dirinya. Mampu tumbuh dan berkembang kreatif dengan kapasitasnya sendiri, tanpa harus menunggu bantuan pihak lain. Karena itu kekayaan alam tsb disebut “renewable resources”, sumberdaya terbaharui. Sumberdaya itu bisa dikeruk, ditebang dan diambil  untuk apa saja, tapi akan bisa tumbuh kembali.  Namun kapasitas alam dan lingkungan hidup juga ada ambang batasnya. Ada batas daya dukung dari lingkungan yang alami. Apabila sumberdaya itu dieksploitasi, dikuras terus-menerus melampaui ambang batas daya dukungnya, maka ekosistem alami yang mendukungnya akan runtuh. Kemampuan alam memperbarui diri itu tercabut akarnya. Sehingga ekosistem alam yang runtuh itu kehilangan daya, tak mampu tumbuh kembali. Hutan jadi gundul, sumber mata air hilang, sungai dan sawah mengering, tanah jadi gersang hilang kesuburannya. Maka deforestasi dan semua kerusakan alam itu membawa dampak kekeringan, banjir, tanah longsor, pencemaran sungai, dan rangkaian bencana alam lainnya sehingga dirasakan sebagai malapetaka lingkungan yang kian menyengsarakan kehidupan manusia dan masyarakat umumnya. 

Masalahnya, para perencana pembangunan ekonomi seperti tidak melihat apa lagi merasakan sifat dan fenomena alam serta dampak lingkungannya seperti tersebut diatas. Memang,  para ekonom dan penganut konsep pembangunan yang konvensional sekalipun menganggap sumberdaya alam itu mutlak diperlukan untuk pembangunan. Akan tetapi cara pandang dan perlakuan mereka terhadap sumber daya alam itu berbeda. Ekolog dan pencinta lingkungan melihat sumberdaya alam sebagai bagian dari “sistem kehidupan” di bumi. Sedangkan Ekonom melihat dan menganggap sumber daya alam – terutama tanah, tumbuhan, air dan bahan tambang – tak lebih dari sekedar “faktor produksi”. Dalam ilmu ekonomi, faktor produksi adalah sumber daya yang digunakan oleh pabrik atau perusahaan dalam proses pembuatan (produksi) barang dan jasa. Sekurangnya ada empat faktor produksi yang diperlukan, yaitu modal (capital), tenaga kerja (labor), sumberdaya alam (natural resources) dan kewirausahaan (entrepreneurship). Jadi jelas, dalam ilmu ekonomi, faktor alam diperlukan  sekedar sebagai bahan baku, salah satu faktor produksi yang hanya berfungsi untuk memproduksi barang dan jasa. Dengan demikian, sebagai faktor/unsur kekuatan yang kreatif dalam kehidupan di bumi, sifat dan keberadaan sumberdaya alam itu telah “dilucuti” karena  kemuliaan fungsi dan manfaat kekayaan alam “didegradasi” menjadi sekedar “bahan baku” untuk dieksploitasi buat memproduksi komoditas, barang dagangan. 

Sementara masalah dan faktor kelestarian alam dan lingkungan baru muncul belakangan baik dalam kebijakan maupun proses pembangunan nasional. Sesudah 5 Repelita di era Orde Baru dan lebih 45 tahun keberadaan Kementerian Lingkungan Hidup plus Kehutanan di era Reformasi, kebijakan dan program Lingkungan Hidup tak pernah bisa masuk dalam prioritas program pembangunan nasional. Sektor Lingkungan juga belum pernah memperoleh alokasi anggaran yang memadai. Bahkan tidak sampai 15% anggaran Sektor Perekonomian. Dari segi SDM dan sistem kelembagaan, selain tak cukup punya SDM berkualitas juga tak terlihat ada peran dan pengaruh signifikan dari program dan instansi terkait soal sumberdaya alam dan lingkungan di tingkat sektor dan daerah-daerah. Sementara dari segi koordinasi kebijakan, belum pernah ada Menteri Koordinator  yang membidangi Pengelolaan SDA dan Perlindungan Lingkungan.

Anda mungkin juga suka...