Dalam sambutannya, Kepala Baperida Konawe Utara, Ir. Laode Muhaiman, ST., MPW, menegaskan dukungan terhadap inisiatif ini. Ia mengakui kontribusi sektor tambang dalam pembangunan daerah, namun menyoroti tantangan yang muncul: degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, hingga kerentanan ekonomi masyarakat jika hanya bergantung pada industri ekstraktif. “Forum seperti ini penting untuk merumuskan strategi bersama, agar tata ruang kita berjalan adil dan berkelanjutan,” ujarnya. Pandangan ini memberi sinyal bahwa pemerintah mulai membuka ruang kolaborasi untuk mencari jalan keluar dari pola pembangunan yang terlalu tambang-sentris.

Sesi pemaparan materi dibuka oleh Komunitas Teras yang menyoroti dampak perluasan industri nikel di Konawe Utara. Mutmainnah dari Komunitas Teras, menjelaskan bahwa kebijakan hilirisasi nikel belum sepenuhnya diiringi tata kelola ruang yang baik, sehingga menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat dan lingkungan. Melalui program ini, Teras mendorong masyarakat agar tidak hanya bergantung pada sektor tambang, tetapi juga mengembangkan ekonomi alternatif berbasis potensi lokal.
Komunitas Teras merinci tujuan jangka menengah, mulai dari penguatan kapasitas masyarakat, terbentuknya media komunikasi multipihak, hingga lahirnya produk pengetahuan yang siap digunakan untuk advokasi kebijakan. Beberapa desa seperti Tambakua, Padalere Utama, Awila Puncak, dan Kelurahan Molawe akan menjadi lokasi intervensi utama.
Sementara itu, Puspaham melalui Iskandar menyoroti kondisi di wilayah pesisir Molawe yang terdampak abrasi dan sedimentasi akibat aktivitas tambang. Ia menekankan dua potensi ekonomi yang bisa dikembangkan, yakni perikanan tangkap dan pengasapan ikan, meski saat ini hasil nelayan menurun drastis. Selain itu, wilayah pertanian dengan komoditas seperti nilam, jagung, dan padi gogo juga perlu diperkuat agar masyarakat memiliki sumber penghidupan alternatif.
Diskusi terbuka memunculkan berbagai suara kritis. Warga Tambakua menyoroti lahan pertanian yang berubah dari tanah hitam menjadi tanah merah akibat aktivitas tambang, serta hilangnya sumber air bersih. Nelayan Molawe mengeluhkan laut yang tercemar, sementara masyarakat Padalere Utama menegaskan Sungai Lalindu yang dulunya jadi tumpuan hidup kini tak lagi bisa dimanfaatkan.
Isu lain yang mengemuka adalah Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang dinilai belum transparan dan belum menyentuh kebutuhan riil warga. Kelompok tani mendesak agar PPM diarahkan untuk mendukung pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan.
Direktur Komunitas Teras, Indah, menutup kegiatan dengan menekankan pentingnya integrasi antara pemerintah daerah dan masyarakat sipil. Ia berharap, langkah awal melalui Kick Off Meeting ini menjadi pintu masuk gerakan kolektif dalam memperjuangkan keadilan ruang dan penguatan ekonomi masyarakat.
Kick Off Meeting ini menghasilkan lebih dari sekadar kesepakatan awal. Pertemuan ini memperlihatkan gambaran utuh kondisi lapangan: kerusakan lingkungan yang nyata, keresahan masyarakat yang berlapis, sekaligus peluang pengembangan ekonomi berbasis sumber daya lokal. Pengetahuan kolektif yang lahir dari forum ini menjadi modal penting untuk mengarahkan intervensi program TARA, memastikan advokasi tidak berhenti pada kritik, melainkan bergerak menuju solusi yang adil dan berkelanjutan.