09 Maret 2025

Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat Liya, Melestarikan Warisan Kultural dan Ekologis

Wilayah adat Liya di Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu contoh kekayaan budaya dan ekologi yang dimiliki Indonesia. Sebagai bagian dari Kesultanan Buton, Kadie Liya memiliki sejarah panjang dengan sistem pemerintahan tradisional yang unik dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam.


By Admin 28 Februari 2025 corona.png

Wakatobi, Permata di Segitiga Karang Dunia

Kabupaten Wakatobi, yang terletak di bagian Tenggara Pulau Sulawesi, dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati laut. Terletak di pusat segitiga karang dunia (Coral Triangle Center), wilayah ini memiliki 750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia dan 942 spesies ikan. Kekayaan alam yang luar biasa ini mendorong pemerintah Indonesia untuk menetapkan Wakatobi sebagai Taman Wisata Alam Laut pada tahun 1995, yang kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional pada tahun 1996.

Kadie Liya, Warisan Budaya yang Terus Bertahan

Kadie Liya merupakan salah satu dari 72 Kadie yang ada di Kesultanan Buton, menjadi Kadie ke-11 yang bergabung dengan Buton pada tahun 1542. Wilayah kekuasaan Kadie Liya meliputi sekitar sepertiga dari Pulau Wangi-Wangi, termasuk beberapa kawasan seperti Kolo, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Simpora, dan Lagiampa.

Struktur pemerintahan Kadie Liya terdiri dari 120 orang yang dipimpin oleh seorang Meantu'u (yang dahulu dijabat oleh La Kina) yang disebut Sara. Pemimpin ini dipilih bukan berdasarkan kecerdasan, kekayaan, atau strata sosial, melainkan berdasarkan akhlak terbaik dalam masyarakat. Meskipun pernah mengalami kekosongan kepemimpinan sejak tahun 1952, struktur kepemimpinan ini kembali diangkat oleh Kesultanan Buton pada tahun 2012.

Pentingnya Pemetaan Partisipatif

Sejak dahulu hingga sekarang, kawasan Kadie Liya belum memiliki peta tematik yang komprehensif. Akibatnya, informasi tentang tapal batas, tanah kelola adat, dan kawasan perairan laut yang masuk di wilayah adat Kadie Liya hanya tersedia melalui keterangan lisan. Perubahan peradaban dari zaman ke zaman telah mendorong pergeseran nilai-nilai kearifan lokal terkait hak kelola wilayah adat, yang berdampak pada fungsi tata kelola wilayah adat oleh pemerintah adat.

Pemetaan partisipatif menjadi upaya penting untuk mempertahankan nilai-nilai hak tata kelola wilayah adat Kadie Liya dengan mengidentifikasi dan memetakan kawasannya berdasarkan informasi dari pemangku adat dan masyarakat. Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Meantu Liya, perangkat adat, para kepala desa, serta perwakilan dari lima desa yang berada dalam wilayah Kadie Liya.

Metodologi Pemetaan Partisipatif

Proses pemetaan dimulai dengan tahap persiapan sosial melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat Liya serta pelatihan dasar mengenai pemetaan secara partisipatif. Metode sketsa peta digunakan untuk menentukan batas wilayah adat, dengan masyarakat memberikan nama di setiap batas sebagai acuan yang dapat dijadikan bukti kesejarahan.

Pengumpulan data sosial dilaksanakan melalui FGD dan wawancara. Sementara itu, pengambilan data lapangan terbagi atas data batas wilayah darat dan batas wilayah laut. Untuk batas wilayah laut, klaim wilayah oleh masyarakat Liya sebatas wilayah tangkap masyarakat, yaitu sekitar tubir karang.

Tantangan dalam pengambilan data muncul terutama pada batas wilayah antara Liya dan Mandati, di mana terdapat perbedaan pemahaman dalam mengartikan pesan dari cerita sejarah. Pulau Wanci sendiri terdapat empat komunitas atau Kadie: Liya, Mandati, Wanse, dan Kapota, dengan sejarah konflik batas yang cukup panjang.

Konsep Pengelolaan Ruang Adat

Masyarakat adat Liya memiliki konsep pengelolaan ruang yang tidak tertulis namun masih berlaku hingga saat ini. Pembagian ruang, baik di darat maupun di laut, terdiri dari Honto, Padang Kuku, dan Wehai. Sistem pranata ini masih berlangsung dan dijalankan oleh masyarakat hingga saat ini.

Proses Pembuatan Peta

Pengolahan data dan penggambaran peta dilakukan di Kantor Teras Kendari dengan melibatkan dua orang perwakilan kelompok masyarakat adat Liya. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan peta ini sangat penting untuk memastikan adanya transformasi informasi serta proses pembelajaran dalam pemetaan partisipatif berbasis wilayah adat. Selain itu, kehadiran mereka memungkinkan pemberian informasi tambahan yang mungkin belum terekam selama proses pengambilan data.

Dengan demikian, Pemetaan partisipatif wilayah adat Liya merupakan langkah penting dalam upaya melindungi hak-hak masyarakat adat dan kearifan lokal mereka dalam mengelola sumber daya alam. Dalam konteks modernisasi dan berbagai tekanan eksternal, dokumentasi wilayah adat melalui peta tematik menjadi bukti konkret eksistensi masyarakat adat Liya serta ruang hidup mereka.

Sebagai negara yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, Indonesia wajib melakukan perlindungan terhadap kearifan lokal dalam rangka menjamin kelangsungan hidup masyarakat adat, serta terpenuhinya hak dan kewajiban mereka dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pemetaan partisipatif, masyarakat adat Liya dapat mengambil peran aktif dalam menentukan nasib mereka sendiri, sekaligus melestarikan warisan budaya dan ekologi yang tak ternilai bagi generasi mendatang.

0 Komentar


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Save my name, email, and website in this browser for the next span I comment.

Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat Liya, Melestarikan Warisan Kultural dan Ekologis

Wilayah adat Liya di Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu contoh kekayaan budaya dan ekologi yang dimiliki Indonesia. Sebagai bagian dari Kesultanan Buton, Kadie Liya memiliki sejarah panjang dengan sistem pemerintahan tradisional yang unik dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam.


By Admin 22 April 2022 corona.png

Wakatobi, Permata di Segitiga Karang Dunia

Kabupaten Wakatobi, yang terletak di bagian Tenggara Pulau Sulawesi, dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati laut. Terletak di pusat segitiga karang dunia (Coral Triangle Center), wilayah ini memiliki 750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia dan 942 spesies ikan. Kekayaan alam yang luar biasa ini mendorong pemerintah Indonesia untuk menetapkan Wakatobi sebagai Taman Wisata Alam Laut pada tahun 1995, yang kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional pada tahun 1996.

Kadie Liya, Warisan Budaya yang Terus Bertahan

Kadie Liya merupakan salah satu dari 72 Kadie yang ada di Kesultanan Buton, menjadi Kadie ke-11 yang bergabung dengan Buton pada tahun 1542. Wilayah kekuasaan Kadie Liya meliputi sekitar sepertiga dari Pulau Wangi-Wangi, termasuk beberapa kawasan seperti Kolo, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Simpora, dan Lagiampa.

Struktur pemerintahan Kadie Liya terdiri dari 120 orang yang dipimpin oleh seorang Meantu'u (yang dahulu dijabat oleh La Kina) yang disebut Sara. Pemimpin ini dipilih bukan berdasarkan kecerdasan, kekayaan, atau strata sosial, melainkan berdasarkan akhlak terbaik dalam masyarakat. Meskipun pernah mengalami kekosongan kepemimpinan sejak tahun 1952, struktur kepemimpinan ini kembali diangkat oleh Kesultanan Buton pada tahun 2012.

Pentingnya Pemetaan Partisipatif

Sejak dahulu hingga sekarang, kawasan Kadie Liya belum memiliki peta tematik yang komprehensif. Akibatnya, informasi tentang tapal batas, tanah kelola adat, dan kawasan perairan laut yang masuk di wilayah adat Kadie Liya hanya tersedia melalui keterangan lisan. Perubahan peradaban dari zaman ke zaman telah mendorong pergeseran nilai-nilai kearifan lokal terkait hak kelola wilayah adat, yang berdampak pada fungsi tata kelola wilayah adat oleh pemerintah adat.

Pemetaan partisipatif menjadi upaya penting untuk mempertahankan nilai-nilai hak tata kelola wilayah adat Kadie Liya dengan mengidentifikasi dan memetakan kawasannya berdasarkan informasi dari pemangku adat dan masyarakat. Proses ini melibatkan berbagai pihak, termasuk Meantu Liya, perangkat adat, para kepala desa, serta perwakilan dari lima desa yang berada dalam wilayah Kadie Liya.

Metodologi Pemetaan Partisipatif

Proses pemetaan dimulai dengan tahap persiapan sosial melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan masyarakat Liya serta pelatihan dasar mengenai pemetaan secara partisipatif. Metode sketsa peta digunakan untuk menentukan batas wilayah adat, dengan masyarakat memberikan nama di setiap batas sebagai acuan yang dapat dijadikan bukti kesejarahan.

Pengumpulan data sosial dilaksanakan melalui FGD dan wawancara. Sementara itu, pengambilan data lapangan terbagi atas data batas wilayah darat dan batas wilayah laut. Untuk batas wilayah laut, klaim wilayah oleh masyarakat Liya sebatas wilayah tangkap masyarakat, yaitu sekitar tubir karang.

Tantangan dalam pengambilan data muncul terutama pada batas wilayah antara Liya dan Mandati, di mana terdapat perbedaan pemahaman dalam mengartikan pesan dari cerita sejarah. Pulau Wanci sendiri terdapat empat komunitas atau Kadie: Liya, Mandati, Wanse, dan Kapota, dengan sejarah konflik batas yang cukup panjang.

Konsep Pengelolaan Ruang Adat

Masyarakat adat Liya memiliki konsep pengelolaan ruang yang tidak tertulis namun masih berlaku hingga saat ini. Pembagian ruang, baik di darat maupun di laut, terdiri dari Honto, Padang Kuku, dan Wehai. Sistem pranata ini masih berlangsung dan dijalankan oleh masyarakat hingga saat ini.

Proses Pembuatan Peta

Pengolahan data dan penggambaran peta dilakukan di Kantor Teras Kendari dengan melibatkan dua orang perwakilan kelompok masyarakat adat Liya. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan peta ini sangat penting untuk memastikan adanya transformasi informasi serta proses pembelajaran dalam pemetaan partisipatif berbasis wilayah adat. Selain itu, kehadiran mereka memungkinkan pemberian informasi tambahan yang mungkin belum terekam selama proses pengambilan data.

Dengan demikian, Pemetaan partisipatif wilayah adat Liya merupakan langkah penting dalam upaya melindungi hak-hak masyarakat adat dan kearifan lokal mereka dalam mengelola sumber daya alam. Dalam konteks modernisasi dan berbagai tekanan eksternal, dokumentasi wilayah adat melalui peta tematik menjadi bukti konkret eksistensi masyarakat adat Liya serta ruang hidup mereka.

Sebagai negara yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, Indonesia wajib melakukan perlindungan terhadap kearifan lokal dalam rangka menjamin kelangsungan hidup masyarakat adat, serta terpenuhinya hak dan kewajiban mereka dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pemetaan partisipatif, masyarakat adat Liya dapat mengambil peran aktif dalam menentukan nasib mereka sendiri, sekaligus melestarikan warisan budaya dan ekologi yang tak ternilai bagi generasi mendatang.

0 Komentar


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Save my name, email, and website in this browser for the next span I comment.
Berita Terkait