Kepala Dinas DLH Konawe Utara dalam sambutannya menekankan pentingnya rencana induk ini sebagai dasar perlindungan kawasan taman kehati. Ia berharap dokumen ini dapat mencegah eksploitasi berlebihan terhadap wilayah-wilayah yang kaya keanekaragaman hayati, serta menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara. Salah satu kawasan yang menjadi perhatian adalah Matarombeo, yang selain memiliki keanekaragaman flora dan fauna, juga menyimpan peninggalan sejarah dan prasejarah yang harus dijaga kelestariannya.
Dalam seminar, Ir. Ali Okto, ST., M.T memaparkan materi tentang Geomorfologi Karst Matarombeo. Ia menjelaskan bahwa Konawe Utara memiliki banyak sumber daya alam yang perlu dilindungi dari pemanfaatan lahan yang tidak ramah lingkungan. Dengan adanya perlindungan dari UNESCO, kawasan karst di Matarombeo dapat terjaga dari aktivitas penambangan sembarangan. Berdasarkan analisis morfologi, Matarombeo diklasifikasikan sebagai Kawasan Karst Kelas 1, yang berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah, memiliki gua aktif, serta menjadi habitat flora dan fauna endemik yang penting untuk ilmu pengetahuan dan pariwisata.
Materi kedua disampaikan oleh Dr. Agus Setiawan, S.Hut., M.Hum yang membahas dokumen rencana induk pengelolaan keanekaragaman hayati. Ia menyoroti bahwa Konawe Utara merupakan wilayah yang kaya potensi alam dan keanekaragaman hayati, serta memiliki peran strategis dalam pembangunan berkelanjutan di Sulawesi Tenggara. Pengelolaan kehati yang komprehensif dan terintegrasi menjadi kunci untuk memastikan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta pelestarian flora dan fauna yang optimal.
Dalam proses penyusunan rencana induk ini, terdapat beberapa tahapan penting, mulai dari persiapan, analisis dan sintesis, formulasi dokumen, hingga konsultasi publik dan integrasi dengan RPJMD. Rencana induk ini akan berlaku selama lima tahun, dari 2025 hingga 2030, dengan sasaran utama teridentifikasinya kawasan-kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi, tersedianya perencanaan perlindungan, serta terpetakannya flora dan fauna penting di Konawe Utara.
Pada sesi tanya jawab, berbagai pihak memberikan masukan terkait perlindungan habitat satwa endemik seperti burung maleo dan lumba-lumba, serta pentingnya integrasi pengelolaan kawasan yang selama ini masih tumpang tindih antara KPH, BKSDA, dan pemerintah daerah. Selain itu, usulan untuk menambah titik koordinat kawasan karst dan klasifikasi kawasan berdasarkan tingkat pemanfaatan lahan juga disampaikan agar pengelolaan kehati dapat lebih efektif dan sesuai regulasi.
Seminar diakhiri dengan pembagian kelompok diskusi untuk merumuskan rekomendasi dan tindak lanjut penyusunan dokumen rencana induk. Semua pihak sepakat bahwa penyusunan RIP Kehati ini bukan untuk kepentingan instansi tertentu, melainkan merupakan arahan pusat demi keberlanjutan pengelolaan keanekaragaman hayati di Konawe Utara. Data tambahan dari BKSDA dan KPH akan dilengkapi, dan pelibatan masyarakat lokal diharapkan menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan pengelolaan taman kehati di masa mendatang.